*Disclaimer, tulisan ini isinya bukan resep opor ayam .        Wah, rasanya sudah lama sekali aku tidak menulis di word, biasanya langsung...

Opor Ayam Opor Ayam

Opor Ayam

Opor Ayam

*Disclaimer, tulisan ini isinya bukan resep opor ayam    

 
Wah, rasanya sudah lama sekali aku tidak menulis di word, biasanya langsung di blog, yang kata author satunya, aku suhu. Aku menuruti omongannya tentang jumlah kata, memperhatikan jumlah kata, dan mengetahui jumlah kata. Begitulah. Aku anak yang baik dan budiman, tentu saja aku akan mendengarkan omongannya. Kadang-kadang, sih.
 
Harusnya aku menulis tadi pagi atau tadi siang, niatnya begitu, tapi niat itu sudah kandas ditelan bulat-bulat oleh rasa kantuk yang luar biasa. Sebentar, aku bisa jelaskan. Ini bukan berarti aku mengantuk dari habis sahur lalu lanjut sampai siang dan tidur layaknya beruang. Tadi pagi aku tidak tidur lagi, niatnya ingin, tapi Komandan memintaku menemani pergi berbelanja di pasar pagi-pagi.
 
Aku berangkat bersama Komandan—alias Ibu—ke pasar pada pagi hari, dimana itu sebenarnya adalah jam tidurku yang paling sempurna. Di pasar, Ibu berjalan kesana-kemari membeli ini-itu-ini-itu untuk masak menu makanan dihari lebaran nanti. Aku? Aku hanya berjalan mengekor mengikutinya seperti bebek. Bedanya, bebek tidak mengantuk. Aku mengantuk.
 
“Jangan ketiduran di pasar.”
 
Ibu kadang-kadang memang lucu. Mana mungkin aku rebahan di atas sayuran? Atau tiduran santai di sebelah orang yang sibuk mengayunkan pisau besar memotong daging? Ah, tapi kalau tiduran di atas motor masih bisa. Hmm tapi gawat juga kalau aku malah disangka mamang parkir.
 
Sama seperti kebanyakan orang—lebih tepatnya kebanyakan ibu-ibu—menjelang lebaran, Ibu akan memasak opor ayam. Ibu membeli dua ekor ayam yang sudah botak dicabut bulu-bulunya, dan sudah mati juga, tentu saja. Tak lupa, Ibu membeli seperempat kilo dada ayam untuk jatah kucingku, Soi. Tanpa ayam, Soi tak ubahnya hanya reog bertubuh kucing.
 
Sambil mengamati pasar yang ramai dan pantat ayam yang terekspos di meja penjual daging ayam, aku memikirkan opor ayam. Bukan, sekali lagi, jangan salah paham. Aku tidak ada niatan mokel disiang hari saat opor ayam bikinan Ibu jadi. Lebih jelasnya lagi, aku memikirkan opor ayam buatan Eyang Uti.
 
Dulu, waktu Eyang Uti masih sehat bugar dan tinggal di rumahnya—sekarang beliau tinggal di rumah bulik—Eyang Uti suka memasak banyak makanan menjelang hari raya. Katanya, untuk menyambut anak dan cucunya kalau datang berkunjung. Duh, Eyang Uti memang romantis! Ehem, tentu saja, di antara banyak masakannya itu, ada makanan khas lebaran yang melegenda. Betul, OPOR AYAM.
 
Aku masih SD saat itu. Eyang Uti senang mengajak Ibu dan Bulik untuk ramai-ramai masak besar di rumahnya. Aku ikut, tentu saja. Selain untuk bermain dengan kucing Eyang, aku akan menjadi juru icip-icip. Loh nggak puasa? ENGGAK, HEHE. Maklum, bocil.
 
Opor bikinan Eyang Uti rasanya khas. Sampai sekarang, aku belum menemukan opor ayam seenak bikinan beliau. Beliau selalu memasak opor dihari-hari besar, seperti lebaran misalnya. Bahkan masih berlanjut ketika Eyang Kakung meninggal saat aku duduk di bangku SMP dan Eyang Uti masih tetap keukeuh tinggal di rumahnya. ‘Ada banyak kenangan.’ Begitu katanya, tiap diajak Bulik untuk tinggal bersama. Duh, sekali lagi, Eyang Uti memang romantis.
 
Menjelang pertengahan SMA, kesehatan Eyang Uti menurun, apalagi semenjak beliau jatuh di kamar mandi dan mengakibatkan luka di tangan yang bisa dibilang bekas lukanya permanen. Eyang Uti akhirnya mau ikut tinggal bersama Bulik, meninggalkan rumahnya.
 
Saat tinggal bersama Bulik dan melewati hari-hari lebaran disana juga, Eyang Uti sudah tidak memasak lagi. Alasannya karena masalah kesehatan dan tenaga Eyang Uti yang menjadi sangat terbatas. Acara kumpul keluarga sekarang pindah di rumah Bulik dan masakan yang disediakan kebanyakan beli, pesan di katering. Tapi, tiap hari lebaran, Eyang Uti tetap memasang wajah sumringah saat dapat berkumpul lagi beramai-ramai.
 
Tahun demi tahun berlalu, banyak hal yang berubah. Kadang aku merasa tidak siap dengan perubahan dan jiwaku tertinggal di usia belasan, ketika aku masih berlarian mengejar kucing Eyang, makan opor, atau kabur saat Eyang Kakung mau mencium pipiku setelah beres cukur jenggot.
 
Banyak hal berubah. Pun lebaran yang kulalui juga begitu. Tapi, sebesar apapun badai perubahan yang datang, kurasa itu tidak apa-apa selagi pada akhirnya keluarga akan tetap berkumpul. Berkumpul di hari raya, merayakan kemenangan, bercakap-cakap, dan menebar suasana hangat. Selagi kami bisa berkumpul, nuansa kebersamaan itu tidak akan berubah.
 
Ada yang bilang, lebaran dan kumpul keluarga jadi momok mengerikan karena akan dibombardir pertanyaan menyebalkan. Kapan lulus? Kapan nikah? Udah dapet kerja tetap? Dan lalalala. Tapi yah, namanya juga keluarga, selamanya akan begitu. Mereka ingin tahu kabar dari masing-masing. Walaupun terkesan menyebalkan dan seperti ingin mengetahui seluk beluk kehidupan orang lain, sih, hehe. Kalau dirasa mengganggu, Sam sang bijak ini punya saran. Pura-pura tidur, makan, atau salto serta akrobat. Kalau kalian salto dan akrobat, dijamin pertanyaannya akan berubah menjadi: anak ini kita ruqyah dimana ya, bun?
 
Aku menghela napas. Kini langkah dan kakiku yang mungil serta letih lemah lesu mengekor Ibu kemana-mana akhirnya sampai juga di parkiran pasar. Pulang. Hip hip horay akhirnya aku mengucapkan salam perpisahan pada pantat ayam di meja jagal ayam. Selagi aku bersiap membayar uang dua ribu untuk parkir, aku memasuki mode melankolis sambil menatap langit yang biru.
 
Lebaran tahun ini pun, aku harap dapat berkumpul bersama keluarga lagi.
 
“Parkir, ngab?”
 
Oh, aku terlalu menghayati sampai lupa ngasih duit parkir. Maaf, Mas, namanya juga manusia. Mohon maaf lahir batin. Peace and gawl.
 
Oh ya, satu hal lagi. Berbahagialah dan bersyukurlah kepada orang-orang yang masih mendapat kesehatan, umur panjang, dan nikmat untuk dapat berkumpul bersama keluarga dihari raya nanti. Semenyebalkan apapun keluarga kita, mereka tetap keluarga kita. Syukuri apa yang adaa~ Hidup adalah anugerah~ Kira-kira begitu kata Mas Dem alias D’masiv.
 
Selamat Hari Raya Idul Fitri, semuanya.
 
Mohon Maaf Lahir Dan Batin ..
 

0 Reviews: