Berisik. Berisik. Sekelilingku selalu berisik. Segala hal di dunia ini sangat berisik, memekakkan telinga, dan kadang aku dibuat mual olehny...

Pekak Pekak

Pekak

Pekak

Berisik. Berisik.


Sekelilingku selalu berisik. Segala hal di dunia ini sangat berisik, memekakkan telinga, dan kadang aku dibuat mual olehnya. Tidak ada tempat yang benar-benar sunyi. Tidak ada tempat untukku dan segala keheninganku. Aku terpaksa hidup di dunia yang berisik ini sampai mati.
 

***
Sekarang sabtu pagi, aku duduk di balkon sambil menyesap kopi dingin. Dari sini, aku bisa melihat orang berlalu-lalang di jalanan. Mereka tampak tergesa-gesa, seperti sedang diburu, atau memburu sesuatu? Deru mesin kendaraan, seruan orang di jalan, klakson. Ramai. Suara yang tidak beraturan seperti ini selalu mengusikku. Tidak ada irama. Tidak beraturan. Pagiku diawali oleh bising dan kopiku menjadi dingin, rasa dingin yang menusuk kerongkongan.
 
Aku masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, aku mendengar suara televisi. Pagi hari sarat akan berita. Politik, ekonomi, pencurian, pembunuhan. Berisik. Kabar-kabar buruk dari kota yang jauh dan tidak kukenali siapa mereka itu merupakan nada sumbang yang lain di telingaku. Ada begitu banyak rentetan peristiwa buruk yang terjadi di dunia, di kota asing yang tak kukenal, dan orang-orang yang sangat asing untukku. Mengapa aku mendengarkan hal yang tidak aku kenal? Tak ubahnya hanya suara bernada sumbang yang asing. 
 
Aku mematikan televisi, membanting remote, dan selang beberapa detik seseorang berteriak kepadaku. Seseorang yang memiliki ikatan darah denganku, namun ia sama sekali tidak memahami suara-suara yang berisik itu. Begitu aku mengatakan banyak hal berisik dan berdengung-dengung di telingaku, ia hanya membentak dan mengatai aku gila. Sebuah respon yang hadir ketika seseorang gagal memahami sesuatu. 
 
Kalimat-kalimat mengucur deras. Agaknya telingaku sudah mulai bernanah, ia enggan menangkap kata per kata, mungkin telingaku pun sudah muak dengan bising. Aku hanya menangkapnya seperti deru suara kendaraan yang kutangkap di balkon pagi tadi. Tidak jelas, tidak berirama. 
 
Aku memutuskan untuk meraup hawa segar, kakiku melangkah menuju beranda rumah. Di beranda, aku mendengar ocehan pedagang sayur yang mengeluhkan harga pasar, menolak harga yang ditawar seorang ibu-ibu, dan menghela napas panjang bersamaan dengan peluh yang mengalir di balik topinya.
 
Satu dua ibu-ibu, yang aku yakini wajahnya seperti tetanggaku, mulai bercakap gaduh. Gosip, gosip, gosip. Si ini punya rumah baru, si itu tidak kunjung hamil, si anu harusnya lebih makmur jika tak menikah dengan si itu. Orang-orang begitu sibuk mengurus kehidupan orang lain, meletakkan opini, bahkan memutuskan langkah seperti apa yang harusnya lebih tepat untuk orang lain ambil. Menggelikan. Bagaimana mulut-mulut itu dapat bersuara hingga berbusa untuk hal yang bahkan tidak mereka alami sendiri? Seketika aku mual. 
 
Dengan langkah diseret, aku masuk ke kamar. Kamarku gelap. Tiap sisi dinding terpasang peredam suara berwarna hitam setebal sepuluh sentimeter. Aku mengambil gitar yang meringkuk di pojokan bersama buku-buku. Aku memetiknya, memainkan soneta yang tempo lalu aku pelajari. Nada yang berirama, tidak sumbang, telah menyelamatkan telingaku pagi ini.
 
Siang merembet naik. Aku letakkan gitar, berbaring menghadap langit-langit kamar. Aku memejamkan mata, menghayati senyap yang baru saja berhasil aku dapatkan.
 
"Keluar." 
 
"Saya bilang keluar sekarang!"
 
Aku bangkit dari kasur. Suara darimana? Sekeliling tetap pekat dan peredam suara masih takzim pada tempatnya. Aku melirik ke arah jendela, dari jendela?
 
"Keluar. Hidupmu tidak berguna!"
 
"Ah, lihat orang-orang. Kamu cuma seonggok orang gila yang tak paham sistem dunia. Parah, ya."
 
"KELUAR!"
 
"Mau jadi apa sih, kamu? Gila."
 
Aku melompat dari kasur. Darimana suara-suara ini? Aku tidak punya radio atau televisi. Di kamarku hanya ada aku, gitar, buku, buku, meja, buku, kursi, kasur, buku, buku. Aku mengecek kolong kasur, curiga ada sekelompok penyusup kecil yang akhirnya mengerti bahasa manusia. Kecoa, tikus, atau semut sekalipun. Namun, aku tidak menemukan apapun kecuali debu.
 
Buku! Ya, buku! Aku menyergap tumpukan buku. Barangkali tokoh dalam buku akhirnya keluar dan mengatakan omong kosong juga kepadaku. Aku merobek kertas-kertas itu, menyumpah serapahi para tokoh dalam buku. Aku merasa puas dengan tindakanku. Sekarang mereka tidak punya mulut lagi, karena aku sudah membunuhnya.
 
Perasaanku menjadi kembali tenang, kini tidak ada lagi yang perlu aku risaukan. Aku kembali merobohkan diri di kasur, kini melihat untaian-untaian awan putih yang berarak menuju timur. Aih, keheningan dan kedamaian yang kudapat setelah bertempur ternyata jauh lebih menenangkan hatiku. Lagipula, cuaca sedang cerah dan awan tampak sangat anggun bergerak perlahan.
 
"Ini alasan kenapa orang-orang akhirnya meninggalkanmu sendirian. Otakmu sudah tidak waras."
 
"Ayahmu juga akhirnya pergi dengan orang lain yang bukan ibumu, karena frustasi anaknya tumbuh menjadi segumpal hal gila hahaha."
 
"HAHAHA"
 
"Makanya, saya bilang untuk keluar."
 
"KELUAR DARI SINI!"
 
Aku jumpalitan mendengar suara-suara itu datang lagi. Darimana? Napasku memburu, peluh mengucur dari dahi. Tokoh-tokoh itu sudah mati, kan? Pun tidak ada entitas lain yang hidup selain aku. Aku menyergap kasur, kubongkar sprei bantal, guling, kemudian kasur. Aku angkat dan lempar kasur ke sisi samping kamar. Tidak ada apapun.
 
"Kamu ngapain sih? Percuma. Percuma."
 
"Semua tindakanmu pun selama ini juga sia-sia."
 
Namun, suara itu tetap tidak hilang. Aku duduk terpekur di samping gitar, hal yang tidak akan mengkhianatiku. Aku duduk dengan kaki terlipat. Kedua tanganku fasih menutup telinga, sebuah usaha untuk menghalau suara-suara itu tidak masuk menerobos telinga. Kedua tanganku adalah sebuah pertahanan terakhir untukku.
 
Peluh terus bercucuran, aku merasakan punggungku sudah basah oleh keringat. Napasku semakin memburu, diikuti dengan detak jantungku yang rasa-rasanya sanggup membuatnya meloncat keluar jendela untuk mencari kedamaiannya sendiri. Aku merapatkan badanku serapat-rapatnya, menempel pada tembok yang dipasangi peredam suara sepuluh sentimeter. Aku meringkuk, meringuk, dan ingin rasanya aku terus merapatkan diri hingga aku menjadi kian menciut dan hilang dari dunia yang bising ini.
 
Aku memejamkan mata. Tanganku mulai gemetar. Suara-suara itu semakin kuat menyuruhku keluar dari sini. Dari kamar ini, yang kubangun sebagai benteng pengahalau suara sumbang tanpa nada. Namun, agaknya kamar ini telah berkhianat kepadaku, sebab gagal menghalau suara-suara ini.
 
Aku merasakan tubuhku semakin menciut dan suara-suara itu kian membludak. Kemudian, ketika tanganku sudah berkulai lemas karena terus menekan telinga sekonyong-konyong, baru aku menyadari sesuatu.
 
Suara itu berasal dari pikiranku sendiri. Ternyata diriku sendiri yang berkhianat kemudian memunculkan nada-nada sumbang yang rupanya lebih mengerikan dari suara bising apapun di dunia ini. 

Akhirnya, selamanya aku akan hidup di dunia yang bising ini sampai mati. 
 

0 Reviews: